Syarat jadi sintren ini kan harus virgin. Kalau tidak, tidak bisa jadi sintren, sintren merupakan simbol dari sosok manusia yang menjaga kesucian. Sebab itulah seorang penari sintren harus tetap perawan. Jika manusia selalu menjaga kesucian, maka di dunia dan akhirat ia akan mendapat kesucian pula.Keperawanan sendiri terkait dengan kacamata gelap yang senantiasa dikenakan sintren. Jika sintren itu seorang perawan, begitu keluar dari kurungan penglihatannya tetap akan terang, auranya akan memancar dari wajah dan tariannya.
Seni sintren banyak mengandung simbol. Seorang gadis yang diikat sebagai simbol dari perlunya mengekang hawa nafsu. Gadis ditutup dengan kain kafan menyimbolkan bahwa hidup akan berujung pada kematian. Semua itu mengingatkan manusia agar selalu menunaikan amal baik dan menjauhi perbuatan buruk. "Hidup ini kan tergantung amal-amalan,"
Sebelum menari, ritual pertama yang dilakukan adalah Dupan, yaitu membaca doa agar terlindung dari marabahaya. Seorang pawang yang menyiapkan gadis sebagai penari disebut Paripurna. Empat pemain pendamping lainnya merupakan bagian tugas dari seorang Dayang. Sedangkan untuk musik yang dimainkan tidak hanya berasal dari gending, melainkan alat musik yang berbahan gambyung atau tembikar serta kipas dari bambu sehingga dapat menimbulkan musik yang khas.
Kesenian ini meninggalkan kesan yang dalam dalam pikiran saya waktu itu. Kalau kemudian ini menjadi bahan tulisan saya yang pertama disini, sebenarnya hanya kebetulan saja hari ini saya baru saja melihat artikel diMading sekolah milik siswa yang menuliskan tentang kesenian Indramayu yang hampir punah, diantaranya tertulis kesenian Sintren. Yang masih saya ingat (berarti sudah +/- 20 tahun yang lalu), pertunjukkan Sintren diadakan ditempat yang luas, biasanya hanya menggunakan alas tikar/karpet. Tidak ada batas yang jelas antara penonton dan pemain Sintren, ini yang menjadi sebab kesenian ini terlihat merakyat sekali. Tabuhan gamelan yang mengiringi pertunjukkan ini sangat sederhana, hanya terdiri dari bambu betung (bambu besar) dan kendi yang keduanya dibunyikan dengan cara dipukul lubangnya menggunakan karet dari sandal ditambah kemeriahan bunyi kecrek. Bunyi tetabuhan ini pulalah yang digunakan untuk mengumpulkan penonton diawal pertunjukkan. Seorang penari Sintren akan didudukan ditengah arena pertunjukkan, lalu kedua tangannya diikat dibelakang dengan kuat menggunakan saputangan, dihadapannya diletakkan seperangkat pakaian Sintren (biasanya kebaya ditambah sejenis rompi), alat make up dan aksessoris kepala, tidak lupa kacamata hitam. Perlu diketahui, untuk menjadi seorang penari Sintren syaratnya sang gadis harus masih perawan, dan ini tidak boleh dilanggar sebab kalo dilanggar gadis tersebut akan gila (penulis belum pernah melihat buktinya sampai sekarang). Setelah penari didudukkan, tubuhnya akan ditutup menggunakan kurungan yang biasa digunakan untuk mengurung ayam tetapi agak lebih besar sedikit. Lalu tembang yang mengandung mantra mulai dinyanyikan: Solasi solandana Menyan putih ngundang dewa Ana dewa dening sukma Widadari temuruna Tembang mantra diatas dilantunkan berulang-ulang, dan akan dihentikan jika kurungan yang menutup tubuh penari Sintren bergerak-gerak, ini menunjukkan bidadari yang diundang sudah masuk dalam tubuh sang penari, dan dibuktikan dengan bergantinya pakaian penari Sintren dari baju biasa menjadi menggunakan baju Sintren dengan aksessoris yang terpakai lengkap plus make up di wajahnya. Aneh bin ajaib, itu yang ada dalam benak saya ketika itu. Bayangkan dalam ruangan kecil, gelap dan terikat, seorang wanita dapat berganti pakaian dan bermake-up layaknya dalam kamar rias yang luas dan terang. Sang penari Sintren ini kemudian akan mulai menari dalam keadaan tidak sadar, tidak ada pakem tarian yang jelas, kadang malah terlihat kaku dan monoton. Saat penari Sintren ini mulai menari-nari pertunjukkan akan dilanjutkan dengan acara 'balangan' yaitu melempar kain atau sarung ke tubuh Sintren, dimana disalah satu ujung kain akan disimpan uang yang berfungsi sebagai sawer (imbalan). Sintren yang terkena balangan kain akan terjatuh, adegan ini akan menimbulkan tawa atau bahkan jeritan dari penonton kalau sang dayang yang mengiringi penari Sintren terlambat/tidak dapat menahan tubuh sang penari. Penari Sintren akan dapat dibangunkan kembali (masih kondisi tidak sadar) dan melajutkan menari dengan cara diusapkan asap dari dupa yang dibakar selama pertunjukkan berlangsung. Jatuh bangunnya Sintren akibat balangan dan frekuensi balangan yang sering, menjadi keasyikan tersendiri dalam menikmati tontonan Sintren ini. Lamanya pertunjukkan Sintren bervariasi, kurang lebih 3-4 jam. Pertunjukkan ini akan berakhir kalau dalang Sintren mulai mengalunkan tembang... Godong kilaras Ditandur tengahe alas Paman bibi aja maras Dalang lais jaluk waras Awalnya saya mengira pertunjukkan Sintren berasal dari Indramayu, tetapi setelah saya telusuri di Internet, sejarah Sintren yang kuat justru menunjukkan kalau kesenian ini berasal dari Jawa Tengah tepatnya Pekalongan. Tetapi ada persamaan yang bisa ditarik secara psikologis, kesenian ini menunjukkan bentuk ekspresi kebebasan atau menolak batasan-batasan, tetapi tidak berani secara terang-terangan menolak batasan tersebut karena adanya ketakutan terhadap penguasa saat itu. Tarian Sintren yang tanpa pakem dan dilakukan tanpa sadar (sehingga terlihat 'bisu') menunjukkan keinginan untuk bebas tetapi tidak mampu/berani terungkapkan. Sejarah Sintren versi Pekalongan menuliskan Sintren berasal dari cerita hubungan cinta yang tidak direstui antara Sulasih dan R. Sulandono yang merupakan anak seorang Bupati di Pekalongan. Sejarah ini menunjukkan adanya pengekangan dalam menjalin hubungan dua anak manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar