Tahap pertama, penari Sintren dimasukkan ke dalam kurungan bersama pakain biasa (pakaian sehari-hari). Tahap kedua, pawang membawa anglo berisi bakaran kemenyan mengelilingi kurungan sambil membaca mantra sampai dengan busana Sintren dikeluarkan. Tahap ketiga, kurungan dibuka, penari Sintren sudah berpakain biasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang memegang kedua tangan penari Sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai Sintren sadar kembali, pertunjukan Sintren selesai.
Dahulu pertunjukan Sintren sering dilakukan oleh para juragan padi sesaat setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertaniannya atau pada musim kemarau untuk meminta hujan, maka dalam pertunjukannya akan dilantunkan lagu yang syairnya memohon agar diturunkan hujan. Namun kini pertunjukan Sintren sangat jarang. Penulis teringat saat kecil pada periode waktu tahun 1975-1990-an masih sering menjumpai di desa dan desa tetangga banyak dijumpai warga yang menanggap pertunjukan Sintren, kini sangat sulit menjumpainya. Pertunjukan Sintren kini dilakukan secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain oleh pelaku seni Sintren. Bahkan berdasar pengetahuan penulis, saat ini hanya ada satu desa yang masih mempunyai grup kesenian Sintren yang tetap eksis yaitu di dusun Sirau Kelurahan Paduraksa dan Kabupaten Pemalang yaitu Paguyuban Sintren Lintang Kemukus dan Paguyuban Sintren Slamet Rahayu yang diketuai oleh Radin Anom dengan jumlah pengurus 15 orang, selain itu kesenian sintren dapat juga dijumpai di Desa Banjarmulya Kecamatan Pemalang.
Asap
dupa mengepul, aromanya merebak melekat di hidung para penonton. Tampah berisi
bunga sesaji berada di depan para pemain. Sang penari berada di dalam kurungan
ayam yang sebelumnya sudah diasapi dengan kemenyan. Ketika ketukan bambu
berpadu bertalu, para penembang membawakan tembang seolah seperti merapal
mantra. Nuansa magis begitu terasa, menyeruak diantara dinginnya angin malam.
Tahap pertama adalah
pambuka/pembukaan. Konon, dulu bagian ini disebut dengan “Ela-Elo” karena
kata-kata itulah yang ditembangkan pada fase pertama. Namun seiring dengan
masuknya syiar ajaran Islam di Lasem, hingga saat ini, kata-katanya dirubah
dengan lafal tahlil, “Laa Ila Ha ‘illallah” yang berarti tiada Tuhan selain
Allah. Si penari hanya duduk terdiam sambil terpejam di dalam kurungan
tengah-tengah arena. Setelah beberapa menit baru kemudian penari mulai diikat
dengan tali/selendang. Dia mulai menari dengan gemulainya. Pada fase inilah
sang penari mulai merasakan trans, yaitu sebuah kondisi antara sadar dan tidak.
Diiringi tembang “Uculana Banda Nira” yang artinya lepaskanlah ikatan ku ini.
Tahap ketiga adalah permainan. Dalam
kondisi trans/setengah sadar, si penari “seolah” bermain dengan sesuatu yang
tak kasat mata. Penonton yang mengerubungi pertunjukan seolah terbius oleh
alunan musik dan gerakan penari. Pada jaman penjajahan Belanda, tembang jawa
yang dilantunkan merupakan modifikasi kalimat-kalimat kode untuk terus
mengobarkan semangat perjuangan. Cara ini dianggap aman karena Belanda tidak
mengetahui arti dari kalimat-kalimat yang dilantunkan.
Nah, ketika para penembang sudah
melantunkan tembang tersebut, berarti pertunjukan Laesan sudah hampir usai.
Pada tahap ke-empat ini, si penari biasanya sudah terlihat lemas kecapekan.
Langkah tariannya mulai gontai. Saatnya penyembuhan, pemulihan kesadaran. Dia
akan dibaringkan oleh sang pawang dan dibisiki mantra. Sang penari pun terdiam
lemas dengan mata terpejam.
Sebagai penutupnya, penembang
membawakan tembang lorotan/kelayungan. Makna dari tembang ini adalah bahwa
semua yang hidup akan kembali kepada sebuah kematian. Tahap ini menjadi
saat-saat paling sakral dalam pertunjukan Laesan. Tergambar bagaimana ketakutan
seseorang dalam menghadapi sakaratul maut. Namun dalam lirik penutup juga
tersirat pesan moral agar kita selalu ingat Tuhan, sehingga mendapatkan akhir
hidup yang khusnul khotimah/dalam keadaan baik.
Perkembangannya pun sudah mulai hilang seiring
berjalannya waktu. Tari ini sudah sangat jarang ditampilkan bahkan di daerah
aslinya. Tari ini merupakan tarian yang langka dan jarang ditemukan. Oleh
karena itu kita sebagai anak penerus bangsa harus menjaganya dan melestarikan
tarian yang ada di Indonesia karena tarian merupakan salah satu warisan budaya
Negara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar