Jumat, 17 Januari 2020

Sintren dalam Perspektif Budaya dan Agama Islam




Hasil gambar untuk Sintren dalam Perspektif Agama Islam




CIREBON - Budayawan Cirebon, Bambang Irianto mengaku tidak sepakat jika kesenian tari sintren mengandung unsur mistis. Menurut dia, hal-hal berbau mistis itu tidak ada, dan murni hanya sebagai sarana hiburan rakyat saja.
"Jadi, begini, kalau ada orang yang bilang saat ia bermain sintren, lalu dimasukin oleh sosok bidadari itu, sebenarnya tidak benar. Itu cuma rahasia 'perusahaan', " kata Bambang kepada Okezone, Jumat (22/3/2019).


Menurutnya, semua elemen yang ada pada kesenian sintren, sebenarnya hanya sebuah simbol belaka. Masyarakat kata dia, boleh saja menafsirkan sendiri simbol-simbol tersebut.

"Kesenian itu kan bersifat netral, tergantung orangnya menafsirkan untuk kebutuhan apa," ujarnya.

Sejarah kesenian sintren sendiri menurut Bambang masih menyisakan misteri. Sebab, jika berbicara tentang sejarah, maka setidaknya harus ada sesuatu yang membuktikannya, baik itu berupa catatan atau benda-benda peninggalan di zaman itu. Menurutnya, sintren pada awalnya, merupakan sarana hiburan bagi masyarakat nelayan yang ada di pesisir Subang hingga Jepara.

"Sintren berjalan begitu saja. Awalnya hanya sebagai sarana hiburan bagi masyarakat nelayan yang ada di pesisir Subang hingga Jepara," tutur Bambang.



Lantas, bagaimana agama Islam memaknai kesenian sintren ini?. Ulama sekaligus pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Buntet Cirebon, KH Adib Roffiudin menjelaskan, secara syariat, kesenian sintren sejatinya tidak melanggar. Sebab, seni tari itu hanya menjadi sarana hiburan masyarakat semata.

"Secara adat sintren ini tidak melanggar syariat, karena hanya menjadi tanggapan (hiburan) masyarakat," kata Kiai Adib.

Senada, Dekan Fakuktas Ushuludin, Adab, dan Dakwah (FUAD) IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Hajam menyebut bahwa integarsi antara agama dan budaya tercermin dalam kesenian sintren.

Menurutnya, pada era penyebaran Islam oleh para Wali Songo, kesenian sintren ditampilkan sebagai hiburan rakyat dengan nilai-nilai Islam yang sudah dimasukkan ke dalamnya.

"Para wali dulu, budaya dan seni tidak dihilangkan. Tapi bersikap familiar. Ini yang disebut sebagai islamisasi kultur atau islamisasi budaya," kata Hajam.

Ketika ada segelitir orang yang mengatakan kalau kesenian sintren itu musyrik, Hazam justru memiliki pandangan berbeda. Ia secara gamblang menyebut, kesenian sintren tidaklah musyrik, karena musyrik sendiri artinya percaya atau meyakini sesuatu selain Allah SWT. Meski konon disebutkan bahwa atraksi sintren turut melibatkan hal-hal bersifat 'gaib'.



"Sebenarnya tidak musyrik. musyrik sendiri artinya percaya atau meyakini sesuatu selain Allah. Sintren itu kan hanya kesenian," tuturnya.

Menurut Hajam, banyak sekali elemen sintren yang mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam. Di antaranya, bentuk kurungan ayam yang melengkung. Hal ini bermakna bahwa fase hidup manusia ialah dari bawah akan berusaha menuju puncak.

"Namun setelah berada di puncak, ia akan kembali lagi ke bawah, yakni dari tanah kembali menjadi tanah, dilahirkan dalam keadaan lemah nantinya kembali lagi keadaan yang lemah pula," kata Hajam menandaskan.

Menurut informasi yang dirangkum Okezone dari berbagai sumber, nama sintren sendiri berasal dari dua suku kata, yakni kata sindir dan tetaren. Dua kata tersebut memiliki arti, menyindir menggunakan syair-syair sajak.

Awalnya kegitan, ini merupakan aktivitas pemuda, yang saling bercerita dan memberikan semangat satu sama lain, khususnya, setelah kekalahan besar pada perang Besar Cirebon yang berakhir sekitar tahun 1818.



Ada juga yang menyebut, kalau kata sintren berasal dari dua kata si dan tren, yang artinya adalah 'ia putri', maknanya sebenarnya yaitu, yang menari bukan lah si penari sintren, tapi roh seorang putri.

Dalam versi ini, sintren sendiri mengisahkan, soal kisah percintaan Ki Joko Bahu dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung, sang Raja Mataram. Kemudian, karena tak diberi restu, akhirnya Ki Joko Bahu dan Rantamsari dipisahkan.

Saat hendak dipisahkan, tersiar kabar jika Ki Joko Bahu meninggal. Akan tetapi, Rantamsari tetap mencari kekasihnya dengan menyamar sebagai penari sintren, karena merasa tidak percaya. Kesenian sintren pun hingga kini masih tetap lestari dan kerap dipertunjukkan di kampung-kampung saat acara tertentu seperti hajatan pernikahan, khitanan dan sebagainya.

Kesenian Sintren erat kaitannya dengan kepercayaan kepada roh yang dapat dimintai bantuan kekuatan pada si penari. Sebagian masyarakat ada yang tidak mempercayai adanya perilaku kesurupan yang terjadi pada penari Sintren. Masyarakat ada yang beranggapan bahwa perilaku kesurupan yang terjadi pada penari Sintren merupakan hasil rekayasa (atau telah diatur sebelumnya) dan hanya

mengundang imajinasi dan menarik perhatian penonton saja. Dalam pandangan Islam terhadap kesurupan ini tidak diperbolehkan karena kesurupan termasuk perbuatan syirik. Seseorang yang kesurupan tingkah lakunya dikuasai makhluk halus dan kemungkinan besar bertindak aneh-aneh. Pandangan masyarakat Islam di Desa Tegalsari Kecamatan Kandeman Kabupaten Batang mengenai kesenian Sintren dapat tercermin dengan adanya perbedaan yang cukup jelas, antara lain ada yang setuju-setuju saja karena salah satu kebudayaan Jawa yang penting untuk dilestarikan agar tidak punah keberadaannya. Namun ada juga masyarakat yang mendukung asalkan tidak bertentangan dengan agama Islam. Mengenai kesurupan dalam kesenian Sintren itu tidak diperbolehkan karena termasuk syirik. Kesenian Sintren hanya seputar tarian saja.

Pada awalnya penari Sintren tidak memakai kostum adalah tanda tentang awal kelahiran manusia yang bersih, suci dan fitrah. Saat penari diikat, bermakna ikatan sosial yang berada di dunia, bahwa setiap manusia diikat oleh aturan-aturan norma masyarakat.

Saat dimasukan pertama kali kedalam kurungan bermakna kehidupan manusia di dalam rahim. Kemudian ketika penari Sintren keluar dan menari memakai kostum adalah tanda kemewahan dunia. Kostum yang dipenuhi pernak-pernik menyerupai kehidupan duniawi yang gemerlap.

Ketika memakai kacamata hitam adalah tanda kehidupan dunia ‘membutakan’ manusia. Ketika penari sintren jatuh pingsan pada saat dilempari uang bermakna bahwa kekayaan (uang) bisa seketika membuat manusia terjatuh dan hancur.

Ketika dikurung kembali setelah pingsan adalah tanda bahwa manusia akan kembali menjadi bagian makrokosmos. Bahwa manusia merupakan dari bagian jagat raya ciptaan Allah Swt. Saat pertunjukan berakhir, penari sintren keluar dari kurungan tanpa memakai kostum, bermakna bahwa manusia akan kembali pada keadaan semula seperti selembar kain putih yang dipakai ketika dikuburkan. Sehingga segala kemewahan (kostum) bersifat sementara.

Cara dakwah yang cukup rumit ini merupakan kolaborasi antara kreasi, kekuatan intelektual, pemahaman budaya yang mendalam serta penelusuran aspek religiusitas Islam yang dijalankan oleh para Wali Songo ketika berdakwah atau melakukan Syiar Islam.

Tentu sangat sulit membayangkan bagaimana caranya melakukan dakwah kepada masyarakat Pesisir Jawa yang penuh ritual mistis tanpa melakukan kreasi demikian. Hal ini menandakan betapa cerdasnya para pendakwah Islam di Nusantara 500 tahun yang lalu. Mengkreasikan dakwah Islam menjadi suatu ajaran yang luas, tanpa harus mempersempitnya.

Walhasil, karena pemahaman kesenian yang kurang serta picik dalam memahami kesenian dan seni tradisi Indonesia, netty heryawan menunjukan gelagat antipasti terhadap kesenian tradisi apapun, termasuk sintren, gelagat antipasti terhadap kesenian tradisi diekspresikan istri gubernur jawa barat dengan cara yang tidak sehat dan terhormat (padahal budaya sikap hormat-menghormati diajarkan agama islam dalam hal apapun).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar