Rabu, 18 Desember 2019

TARI SINTREN DAKWAH ISLAM ALA WALI SONGO



TARI SINTREN DAKWAH ISLAM ALA WALI SONGO







Analisis Sintren Sebagai Media Dakwah Menurut pak bambang selaku Pembina Rumah Budaya Nusantara Pesambangan Jati, Sintren jika ditinjau dari awal kemunculannya, pada masa animisme hingga masa hindu-budha sintren digunakan sebagai media untuk mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan arwah para leluhur atau para dewa-dewi yang dianggap memiliki kekuasaan tertinggi di alam jagat raya. Hal ini dapat dibuktikan dari bentuk praktik pertunjukannya yang selalu disandingkan dengan menggunakan sarana sesajen, dupa, dan kemenyan dengan tujuan agar mereka dapat memohon perlindungan dan pertolongan secara lebih sakral. Selain dari pada itu, sintren juga dipertunjukan sebagai salah satu media sosial untuk menghibur berbagai masalah kehidupan baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi, menurut keyakinan mereka setiap permohonan atau hajat hanya dapat di kabulkan melalui ritual-ritual tersebut. Kemudian pada masa penyebaran Islam, sintren digubah oleh sunan gunung jati dan sunan kali jaga untuk dijadikan sebagai media dakwah. Sebagian syair yang mengandung ajaran-ajaran animisme dinamisme serta hindu budha diubah dengan syair yang lebih Islami. Hal ini dikarenakan penyebaran agama Islam waktu itu banyak 58 menghadapi tantangan, dan telah diketahui bersama bahwa langkah para wali dalam rangka menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah dilakukan dengan cara pendekatan kultur dan budaya, mengingat waktu itu masyarakat masih kuat memegang teguh adat istiadat agama terdahulunya. Dengan kecerdikan dan kecerdasan akalnya, para wali memanfaatkan kesenian sintren ini untuk menyisipkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat, sehingga ajaran-ajaran Islam dapat diterima dengan tanpa menimbulkan banyak konfrontasi dan pertumpahan darah. 


Dengan cara asimilasi ini ajaran Islam mulai diserap sedikit demi sedikit oleh masyarakat dan menjadi pertunjukan yang banyak mengandung nilai-nilai falsafah, diantaranya:


1. Pemeran utama sintren, yaitu lais/sintren dan dalang berjumlah 2 orang melambangkan 2 kalimat syahadat yakni syahadat tauhid dan syahadat rasull.


2. Jenis waditra (pemusik) yang 4 melambangkan iman, tauhid, ma’rifat, Islam. 


3. Jumlah Nayaga yang 5 melambangkan rukun Islam yakni, syahadat, sholat, zakat, puasa, serta haji. 


4. Pembawa lagu, pemain dan lain-lain berjumlah 20 orang melambangkan sifat-sifat Tuhan yang 20 jumlahnya. 


5. Kurungan dan lais/sintren melambangkan badan jasmani dan rohani, yang pada waktunya akan dipisahkan atas kehendak Yang Maha Kuasa seperti kurungan yang ditinggalkan oleh lais (pemain sintren) 59


6. Demikian pula pesan yang terdapat dalam syair-syair sintren, semuanya mengandung falsafah hidup yang cukup dalam dan harus disampaikan kepada penonton karena mengandung hikmah dan tata nilai luhur. Dengan demikian, sintren merupakan salah satu kesenian yang mempunyai makna simbolik tinggi untuk di tampilkan dan diajarkan guna mendidik generasi muda, serta membentuk karakter bangsa yang memiliki peradaban tinggi dan relevan dengan perkembangan zaman.


Sintren adalah tarian yang terkenal di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Biasanya ditampilkan dalam perayaan khusus di masyarakat atau momen-momen tertentu di Keraton. Konon sintren merupakan kesenian rakyat yang di dalamnya mengandung unsur magis.


Hal ini dapat dilihat dari adegan pemanggilan roh bidadari yang dilakukan oleh pawang untuk merasuk ke dalam tubuh penari sintren. Sintren adalah sebutan untuk peran utama bagi penari Sintren, akhirnya sebutan itu menjadi salah satu nama jenis kesenian, yaitu Sintren.


Menurut Mamad Nurahmad selaku budayawan Sintren, seni tari ini tercipta dari kondisi masyarakat pesisiran. Menurut Warta, selaku anggota seni Sintren, ada beberapa persepsi mengenai Sintren. Sintren berasal dari kata Sasantrian yang artinya meniru santri ketika bermain Lais, Debus, Rudat yang memakai magic (ilmu Ghaib).


Ada juga yang mengartikan sintren asal kata dari Sinatria, yaitu meniru Satria yang baik dari pakaian maupun gerak-geriknya. Ada juga yang mengatakan Sintren berasal dari kata si intrian, yang berarti bidadari perempuan karena tarian Sintren dengan selendangnya menyerupai bidadari.


Secara teknis, pertunjukan ini dimulai dengan seorang perempuan (penari Sintren) yang memakai baju biasa, diikat tubuhnya, lalu dimasukan kedalam kurungan ayam. Melalui iringan musik Sinden dan gamelan, perempuan tersebut keluar dari kurungan tersebut dalam keadaan lepas ikatan, memakai kostum dan matanya tertutup kain hitam.


Namun seiring perkembangan zaman, penari sintren kini memakai kacamata hitam. Kemudian sambil menari, sang sintren akan disawer (dilempari) dengan uang oleh penonton. Saat uang saweran mengenai tubuhnya, ia akan terjatuh pingsan, kemudian sang pawang akan menghampiri untuk menyembuhkannya. Kemudian pertunjukan berakhir ketika sang penari Sintren masuk kembali pada kurungan tersebut. Lalu Sang Penari sintren keluar dari kurungan memakai baju biasa tanpa kostum dan kacamata hitamnya.


Dugaan bahwa pertunjukan mengandung unsur magis dan syirik dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan atas makna filosofis dari pertunjukan tarian Sintren. Bapak Nuramad dan Warta selaku budayawan dan pemain sintren pernah membantahnya. Mereka menjelaskan bahwa Tarian Sintren pada awalnya adalah dakwah Islam melalui Seni budaya. Makna filosofis yang hendak disampaikan bahwa Tarian Sintren merupakan penerjemahan dari ajaran Islam tentang awal penciptaan Manusia.


Pada awalnya penari Sintren tidak memakai kostum adalah tanda tentang awal kelahiran manusia yang bersih, suci dan fitrah. Saat penari diikat, bermakna ikatan sosial yang berada di dunia, bahwa setiap manusia diikat oleh aturan-aturan norma masyarakat.


Saat dimasukan pertama kali kedalam kurungan bermakna kehidupan manusia di dalam rahim. Kemudian ketika penari Sintren keluar dan menari memakai kostum adalah tanda kemewahan dunia. Kostum yang dipenuhi pernak-pernik menyerupai kehidupan duniawi yang gemerlap.


Ketika memakai kacamata hitam adalah tanda kehidupan dunia ‘membutakan’ manusia. Ketika penari sintren jatuh pingsan pada saat dilempari uang bermakna bahwa kekayaan (uang) bisa seketika membuat manusia terjatuh dan hancur.


Ketika dikurung kembali setelah pingsan adalah tanda bahwa manusia akan kembali menjadi bagian makrokosmos. Bahwa manusia merupakan dari bagian jagat raya ciptaan Allah Swt. Saat pertunjukan berakhir, penari sintren keluar dari kurungan tanpa memakai kostum, bermakna bahwa manusia akan kembali pada keadaan semula seperti selembar kain putih yang dipakai ketika dikuburkan. Sehingga segala kemewahan (kostum) bersifat sementara.


Cara dakwah yang cukup rumit ini merupakan kolaborasi antara kreasi, kekuatan intelektual, pemahaman budaya yang mendalam serta penelusuran aspek religiusitas Islam yang dijalankan oleh para Wali Songo ketika berdakwah atau melakukan Syiar Islam.


Tentu sangat sulit membayangkan bagaimana caranya melakukan dakwah kepada masyarakat Pesisir Jawa yang penuh ritual mistis tanpa melakukan kreasi demikian. Hal ini menandakan betapa cerdasnya para pendakwah Islam di Nusantara 500 tahun yang lalu. Mengkreasikan dakwah Islam menjadi suatu ajaran yang luas, tanpa harus mempersempitnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar