Rabu, 18 Desember 2019

ASAL USUL SINTREN


ASAL USUL SINTREN






Asal usul sintren


Siapa yang tidak bangga terhadap kesenian tari Indonesia yang begitu banyak. Dari sekian banyak Negara yang ada di dunia, Indonesialah yang memiliki kesenian tari yang sangat beragam. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap suku memiliki seni tari yang berbeda, mereka memiliki seni tari khas daerah mereka sendiri. Di Indonesia, terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia. Akan tetapi, saat ini banyak seni tari yang dimiliki Indonesia, tidak terwarisi dengan baik dari generasi ke generasi berikutnya. Perubahan dan perkembangan zaman, hampir mengikis keberadaan banyak seni tari yang ada. Salah satu seni tari yang sudah hampir punah adalah kesenian sintren.


Dari segi asal usul bahasa atau etimologi, “sintren” merupakan gabungan dua suku kata “Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren” berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri” (Sugiarto, 1989:15). Sehingga Sintren adalah ” Si putri” yang menjadi objek pemeran utama dalam pertunjukan kesenian sintren ini.


Sintren merupakan tari tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Barat dan Jawa Tengah. Daerah persebaran kesenian ini diantaranya di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jati Barang, Brebes, Pemalang, Banyumas dan Pekalongan. Sintren dikenal juga dengan nama lain yaitu lais. Kesenian sintren ini sebenarnya merupakan tarian mistis, karena di dalam ritualnya mulai dari permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh atau dewa, agar kesenian ini semakin memiliki sensasi seni yang kuat dan unik.


Asal mula munculnya kesenian ini, tidak terlepas dari sebuah cerita yang melatar belakangi kesenian ini. Namun, ada dua versi berbeda yang menceritakan asal mula sintren. Versi yang pertama, menceritakan tentang kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke Batavia dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.


Tak lama terdengar kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedih mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.


Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.


Versi yang kedua menceritakan tentang Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (“sapu tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.


Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih “trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.


Untuk menjadi seorang sintren, persyaratan yang utama adalah penari diharuskan masih gadis dan perawan. Hal ini dikarenakan seorang sintren harus dalam keadaan suci dan penari sintren merupakan “bidadari” dalam pertunjukan. Bahkan sebelum menjadi seorang sintren sang gadis diharuskan berpuasa terlebih dahulu, hal ini dimaksudkan agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci. Karena dengan berpuasa otomatis si gadis akan menjaga pola makannya, selain itu dia akan menjaga tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga tidak menyulitkan bagi roh atau dewa yang akan masuk kedalam tubuhnya.


Ada beberapa istilah dalam kesenian sintren. Yang pertama adalah paripurna. Yaitu tahapan menjadikan sintren yang dilakukan oleh Pawang, dengan membawa calon penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik.


Dalam paripurna, pawang segera menjadikan penari sintren melalui tiga tahap:


· Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari sintren diikat dengan tali yang dililitakan ke seluruh tubuh.


· Tahap Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan kembali.


· Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.


Istilah yang kedua adalah balangan (Jawa : mbalang). Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu ke arah penari sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari sintren dapat melanjutkan menari lagi. Kemudian, penonton yang melemparkan uang tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren.


Kemudian yang terakhir adalah istilah temohan. Temohan adalah penari sintren dengan nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya.


Sebelum memulai pertunjukan, maka akan dilakukan Dupan. Dupan, yaitu acara berdoa bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.


Mulainya pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan massa atau penonton. Kemudian juru kawih akan membacakan mantra-mantra, “tambak tambak pawon. Isie dandang kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul” mantra ini untuk memanggil penonton, juru kawih tidak akan berenti membacakan mantra tersebut hingga penonton kumpul.


Kemudian saat sintren akan dimasukkan roh. Biasanya roh yang diundang adalah roh Dewi Lanjar, jika sang Dewi Lanjar, maka penari akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian dengan cantik dan mempesona. Mantra yang biasa dinyanyikan untuk memanggil Dewi Lanjar agar masuk ke dalam tubuh penari adalah “nemu kembang yona yoni, kembange siti mahendra, widadari temurunan, merasuki badan nira”. Kemudian setelah roh sudah masuk kedalam tubuh penari, maka kurungan akan dibuka. Kemudian juru kawih membacakan syair selanjutnya “kembang trate, dituku disebrang kana, kartini dirante, kang rante aran man grana”. Maka munculah penari sintren yang sudah cantik jelita.


Tempat yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Hal ini di maksudkan agar pertunjukan yang sedang berlangsung tidak terlihat batas antara penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya. Pertunjukan sintren ini umunya lebih komunikatif, artinya ada interaksi antara pemain dengan penonton. Bisa dibuktikan pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara penonton dan penari sintren terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut menari setelah penonton melakukan balangan pada penari sintren. Sintren yang menari biasanya didampingi dengan penari pendamping dan seorang bodor atau pelawak.


Lagu-lagu yang dimainkan biasanya lagu jawa. Alat music yang digunakan, awalnya merupakan alat yang sederhana. Seperti, gending dan alat yang menyerupai dandang dan nampah, namun tetap asik untuk didengarkan. Berbeda dengan sekarang, alat music yang digunakan menggunakan orkes. Mungkin hal ini dilakukan untuk mengikuti perkembangan zaman dan menarik banyak perhatian orang untuk menyaksikan pertunjukan sintren.


Busana yang digunakan penari sintren dulunya berupa pakaian kebaya (untuk atasan) . Busana kebaya ini lebih banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa sebagai busana keseharian. Sekarang ini penari sintren umunya menggunakan busana golek yang lebih nyentrik.


Dan berikut adalah penjelasan busana golek yang digunakan oleh sintren saat ini :


· Baju keseharian, yang dipakai sebelum pertunjukan kesenian sintren berlangsung.


· Baju golek, adalah baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.


· Kain atau jarit, model busana wanita Jawa.


· Celana Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut.


· Sabuk, yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat sampur.


· Sampur, berjumlah sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.


· Jamang, adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping kanan dan kiri telinga sebagai koncer.


· Kaos kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di Jateng.


· Kacamata Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu memejamkan mata akibat kerasukan “trance”, juga sebagai ciri khas kesenian sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.


Pertunjukan sintren awalnya disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan purnama dan menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam kliwon, karena di dalam kesenian sintren terdapat ritual dan gerakan yang sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menjadi satu dengan penari sintren.


Persamaan pertunjukan zaman dahulu hingga sekarang adalah, terkadang pertunjukan kesenian ini bisa juga di butuhkan untuk memeriahkan hajatan perkawinan atau sunatan. Perbedaannya pada saat ini adalah, waktu pertunjukan sintren semakin singkat dan terkadang ada yang memanipulasi pertunjukan, yang artinya pertunjukan sudah tidak melibatkan roh lagi. Selain itu, saat ini pertunjukan sintren yang diadakan akan dicampur dengan music dangdut atau orkes, mungkin hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton yang lebih banyak.


Dalam masa era globalisasi saat ini, sulit sekali kita menemukan pertunjukan sintren, bahkan di daerah asalnya sendiri pun sangat sulit kita bisa menemukan grup yang menyajikan khusus sintren yang original. Saat ini orisinalitas sintren sudah tidak seperti dulu, karena sudah dicampur dengan music-musik lain terutama dangdut. Hal ini bisa saja, sintren dipaksa untuk mengikuti perkembangan zaman yang ada, meskipun sisi orisinalitas tidak lagi penting untuk diperhatikan.


Dalam pertunjukan saat ini juga, banyak dari grup yang menampilkan kepura-puraan dalam pertunjukannya. Misalnya, ada yang berpura-pura kerasukan, lalu mantra yang dibacakan terkadang tidak sungguh, sehingga tidak mengeluarkan nuansa magis sedikitpun. Adapula yang menjadi penari tidak benar-benar gadis, meskipun penampilannya muda dan menarik. Bahkan pakaian yang ditampilkan oleh pendamping sintren/ dayang menggunakan pakaian yang modern. Ya, ini adalah salah satu trik lagi untuk menarik perhatian penonton agar mau menonton sintren


link dibawah ini adalah salah satu pertunjukan sintren, pertunjukan ini digabung dengan orkes dangdut untuk menyesuaikan kesenian sintren terhadap era globalisasi dan minat penonton saat ini : 


Orang yang turut melestarikan kesenian ini juga sangat terbatas. Masyarakat Indonesia saat ini umumnya lebih mengedepankan moderenitas dalam gaya hidup mereka tetapi tidak memikirkan bagaimana moderenitas itu bisa mengangkat kebudayaan mereka sendiri. Bisa saja pertunjukan sintren ditampilkan dalam suasana yang lebih modern, misalnya dalam festival kebudayaan, seminar pelestarian kesenian sintren, atau mengadakan event yang menampilkan kesenian sintren.


Kesenian sintren ini sudah termasuk kesenian yang langka. Bahkan di daerah asalnya sendiri kita sulit menemukan grup sintren. Sungguh beruntung sekali orang yang pernah menyaksikan kesenian ini secara langsung.


Kelangkaan kesenian ini, juga bersumber dari masyarakat Indonesia yang tidak mau melestarikan dan mencintai kesenian mereka sendiri. Jangankan untuk mencintai kesenian sintren, menjadi salah satu bagian dari pertunjukan inipun mungkin mereka harus berfikir dua kali. Bisa saja mereka berat harus menjalankan ritual yang menjadi syarat penari sintren. Misalnya masih harus gadis dan belum menikah. Selain itu harus bersedia dimasuki roh didalam tubuhnya.


Di masa globalisasi, sesungguhnya sangat mudah melestarikan kesenian sintren. Jangan sampai kesenian sintren ini hilang di makan zaman. Ada beberapa cara melestarikan kesenian ini, meskipun kita tidak harus menjadi bagian dari grup sintren, kita bisa menjadikan pertunjukan sintren sebagai objek utama dalam kebutuhan wisata budaya. Tidak sulit sesungguhnya menjadikan sebuah kesenian menjadi objek wisata budaya. Hanya dengan keinginan yang besar , kecintaan terhadap kesenian sintren dan kemampuan bekerjasama dengan grup kesenian sintren, semua akan berjalan dengan baik.


Namun, kita tidak perlu khawatir akan kelangkaan kesenian ini di masa globalisasi. Dari sekian juta lebih masyarakat Indonesia, ternyata masih ada yang mau melestarikan kesenian ini. Di tahun 2002, kesenian ini pernah diangkat kedalam sebuah film local berjudul sintren oh sintren.Film produksi Sindoro Multimedia Studio’s tersebut menceritakan tentang keinginan seseorang untuk menghidupkan kembali tradisi kesenian sintren. Di film tersebut membandingkan betapa music dangdut lebih diminati daripada kesenian sintren. Meskipun banyak kontrovesi tentang pemutaran film ini, yang terpenting adalah masih ada orang kreatif yang mau membuat kesenian ini dikenal oleh generasi lainnya. Dan mau menjadi bagian untuk melestarikan kesenian ini.


Selain itu, dalam festival budaya di Cirebon, kesenian ini sering ditampilkan. Atau di festival budaya di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi, dan Karawang. Di Cirebon sendiri, hanya tersisa dua grup sintren yang masih eksis saat ini, masing-masing adalah pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju. Meskipun hanya tersisa sedikit, setidaknya ada bagian masyarakat Indonesia yang mau melestarikannya.





Warisan budaya nenek moyang ini, jangan sampai hilang di telan zaman yang semakin modern. Orisinalitas juga harus tetap dijaga dalam pertunjukan kesenian ini. Budaya kita adalah budaya Indonesia, kesenian kita adalah kesenian Indonesia. Jangan lebih kita mencintai budaya asing, tetapi pelajarilah kesenian dan budaya yang lebih mewah yang kita miliki di Negara tercinta ini, Indonesia. Kalau bukan kita sendiri yang mau melestarikan kesenian yang unik ini? Siapa lagi?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar