Kamis, 02 Januari 2020

SINTREN PEKALONGAN



Pekalongan berada di jalur pantura yang menghubungakan Jakarta – Semarang – Surabaya. Bagian utara Kabupaten Pekalongan merupakan dataran rendah , sedangkan dibagian selatan berupa pegunungan, bagian dari rangkaian dataran tinggi dieng. Sungai- sungai besar yang mengalir diantaranya adalah Kali Sragi dan Kali Sengkarang beserta anak- anak sungainnya. Yang kesemuanya bermuara ke laut jawa. Kajen, ibu kota Kabupaten Pekalongan, berada di bagian tengah t- tengah kabupaten, sekitar 25 km sebelah selatan Kota Pekalongan. Pekalongan juga mempunyai kebudayaan seperti kesenian sintren. 

Sintren adalah kesenian yang tidak asing bagi masyarakat sepanjang pesisir pantura barat Jawa Tengah bahkan sampai ke wilayah Jawa Barat, termasuk di Pekalongan. Saat ini keberadaan kesenian rakyat tersebut sulit sekali dicari, keberadaannya kini semakin terpinggirkan dan seperti hilang ditelan zaman. 

Kesenian ini dinamakan oleh penari perempuan dan diiringi alat music gamelan. Dengan kurungan kain yang akan menjadi anti klimaks dari ritual kesenian ini. Sang penari yang biasanya berdandan cantic ( bisa dibilang yang muda lebih menarik ) karena laksana tayub, lewat kelincahan gerak dan gemulai tubuhnya tubuh sang penari inilah yang akan menarik minat para lelaki untuk memberikan saweran dengan cara menari bersama mengikuti ritme alunan gamelan bertempo rancak. 

Konon katanya, bila sang penari ( yang belum berdandan ) masuk kedalam kurungan kain, maka ia akan kerasukan roh seorang bidadari. Tubuh sang penari pun akan bersolek sendiri tanpa sang penarinya menyadarinya. Aktivitas mistis selama sang penari dalam kurungan kain ini menjadi hal yang ditunggu-tunggu para penonton, rasa penasaran para penonton akan terjawab saat sang penari keluar dari kurungan dalam keadaan sudah bersolek cantic bak putri raja dan penaripun siap beraksi dengan tarian yang konon mampu menarik minat penonton laki-laki baik tua maupun muda untuk ikut menari bersamanya. 

Hanya saja ada aturan tersendiri yang sudah menjadi bagian dari kearifan lokal, penonton yang ikut menari bersama dilarang menyentuh tubuh sang penari. Penonton diperbolehkan menari bebas sekalipun itu dengan gaya sedikit erotis namun larangan tersebut jangan sampai dilanggar. Kaluapun ada yang coba-coba melanggar maka sang penari akan jatuh pingsan pertanda bidadari yang merasuki tubuh sang penari telah pergi. Yang unik, penari sintren tadinya pingsan bisa kembali sadar dan terasuki kembali roh bidadari bila sang pawang telah mengasapi muka sang penari dengan asap dupa dalam wadah sang pawang. 

Dilansir dari kompas.com : gadis itu, Eka Sulistya ( 19 ), keluar dari semacam kurungan ayam, mengenakan kebaya bermanik-manik, kain, dan selendang. Setelah memasang kacamata hitam, ia pun mulai menari, melonggok-lenggok mengikuti irama ritmis, sambal kepalanya bergoyang dengan lembut. Beberapa sinden menyanyi dan para penabuh gamelan khusyuk mengiringi Eka sang penari sintren itu. 

Beberapa menit sebelumnya, Eka masih berada diluar kurungan, mengenakan celana jins dan jaket ungu. Seorang pawang mengikat tubuhnya dengan tali, membaca mantra-mantra, dan memasukkannya ke dalam kurungan. Didalam kurungan yang bahkan tidak bergoyang sedikit pun itu, Eka bersalin busana dan memnunuhkan bedak serta lipstick. 

Begitulah sintren bekerja. Pertunjukan itu digelar di halaman Kantor Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu ( 12/10/2014 ). Acara itu rangkaian dari Gelar Tradisi Masyarakat Pesisir yang dihelat Direktorat Pembinaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ( kemendikbud ). 

Kini, tari sintren makin jarang dipentaskan. Jarang sekali orang mengundang sintren untuk hajatan karena sudah digantikan organ tunggal. Itu membuat masyarakat betah menonton, bahkan berjejal, meskipun matahari menyengat kulit. 

“ Dulu, nelayan sehabis melaut, apa lagi tangkapan ikannya banyak, hiburannya nanggap sintren. Sekarang jarang, mungkin tinggal sedikit kelompok sintrennya,” kata Sahuri ( 57 ), nelayan yang tinggal diperumahan nelayan Pantai Sari, Desa Panjang Baru, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan. 

Sinden Emi, yang juga ibu Eka, mengatakan, tanggapan sintren menyusut. Hanya jika acara-acara besar yang mengundang kesenian tradisional sajalah sintren bisa disuguhkan. Selebihnya, “kami ngamen dengan penghasilan kecil,” kata Emi. Merosotnya pamor sintren diikuti sulitnya mencari penari sintren yang mau menari dan belum menikah pada usia muda.” Eka ini untung mau jadi sintren, kata Emi. 

Mencermati merosotnya pamor sintren, Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jendral Kebudayaan Kemendikbud Sri Hartini mengatakan, “tugas pemerintah dan masyarakatlah untuk melindungi seni tradisi itu.” Gelar tradisi masyarakat pesisir ini juga upaya untuk melindungi dan melestarikannya agar tidak punah. Bahkan, anak-anak zaman sekarang tidak mengenalnya, padahal ini bagian dari sejarah tradisi pesisiran,” ujar Sri. 

Selain sintren, Gelar Tradisi Masyarakat Pesisir juga dimeriahkan dengan ritual sedekah laut, pementasan wayang ruwatan, dan kirab budaya, antara lain dari komunitas Reog Ponorogo Kota Pekalongan dan komunitas pecinta senjata tradisional Pekalongan. Ada pula lomba mendayung, voli, dan mewarnai untuk anak-anak nelayan. “Ini semacam pesta buat masyarakat pesisir yang akan menjadi acara tahunan di berbagai tempat,” kata Kepala Subdit Lingkungan Budaya dan Pranata Sosial Kemendikbud Dewi Indrawati. 

Ritual-ritual itu memberikan kenyamanan bagi nelayan. Harapannya, mereka memperoleh banyak, tangkapan ( ikan ) dan perjalanannya pun lancer. “Apa lagi, sekarang nangkap ikan makin jauh,” kata Sahuri, nelayan. 

Saat ini, tangkapan ikan yang dilelang di Pekalongan hanya 46 ton per hari. Bandingkan dengan tahun 1991 yang mencapai dahsyat mulai 2004. 

Hal senada dikatakan Sukemi ( 74 ), penabuh boning dipertunjukan wayang ruwatan dengan dalang Ki Sapari. “ Nelayan butuh keselamatan untuk mencari ikan di laut. Ruwatan itu perlu agar dapat ikan yang banyak,” katanya. 

Dirjen kebudayaan kemendikbud Kacung Marijan mengatakan, semua tradisi yang baik harus dilestarikan. Masyarakat mempunyai tradisi syukuran yang luar biasa. Saat ini, kultur masyarakat pedalaman dan pesisir memang makin membaurdan membuat distingasi kultur makin kabur. Namun, tradisi-tradisi yang khas dan unik itu masih dilakukan di banyak tempat. 

“ Kalau kemudian ada perubahan, yang penting bukan transformasi upacaranya, tapi bagaimana filosofi dan nilai-nilai kearifan lokal itu tetap terjaga dan diwariskan,” ujar Kacung. 

Seiring berkembangannya zaman seni dan budaya di Kota Pekalongan, maka seniman di Kota Pekalongan mulai menciptakan Tari Seni Garap yang tidak mengandung unsur magis sebagai hasil kreasi baru dari Tari Sintren Tradisional. Tari sintren garap mulai dipertunjukkan ke masyarakat pada tahun 2009. Tari sintren garap sering ditampilkan pada acara – acara resmi pemerintahan Kota Pekalongan, penyambutan tamu penting serta dipentaskan di Taman Mini Indonesia Indah – Jakarta. Tari sintren garap terus dikembangkan dan kini mulai banyak dikenal masyarakat serta diperankan oleh para pelajar di Kota Pekalongan sebagai dukungan menuju Kota kreatif yang berbudaya dan religious. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar