Salah satu kesenian tradisional yang dimiliki oleh Cirebon adalah tari sintren yang mana tari tradisional yang menggambarkan kesucian dari seorang wanita ini mengandung unsur magis.
Kesenian Sintren Terlupakan dan Terabaikan Kesenian Sintren merupakan salah satu kesenian tradisional yang sekarang ini sudah hampir terlupakan dan terabaikan. Oleh karena itu keberadaannya senantiasa harus kita jaga dan lestarikan; salah satu upayanya yaitu pengenalan kesenian tradisional yang harus dilakukan sejak dini kepada generasi muda bangsa yang majemuk ini. Bukan hanya pelestarian, kita juga harus bisa melakukan pengembangan-pengembangan terhadap kesenian tradisional seperti Sintren, yang dapat dilakukan dengan berbagai aktifitas dan bantuan dari berbagai pihak supaya kesenian Sintren ini akan tetap dan masih diminati oleh semua lapisan masyarakat. Sintren merupakan kesenian rakyat yang telah mengakar di pesisir utara Jawa, setidaktidaknya mulai dari Cirebon sampai wilayah Brebes dan Pemalang, bahkan mungkin sampai wilayah-wilayah Kendal hingga Pati dan Blora. Ada beberapa pengertian tentang sintren. Ada yang menafsirkan bahwa sintren berasal dari kata sesantrian, yang artinya meniru perilaku dan cara berpakaian santri. Ada pula yang menafsirkan sintren itu berasal dari kata sintru, yang artinya angker. Apapun pengertian dari sintren, kesenian ini memang unik, bahkan kalau bisa dibilang penuh unsur magis di dalamnya, namun tetap memesona. Kelompok kesenian sintren terdiri dari seorang juru kawih atau sinden, seorang penari sebagai tokoh sentral, yang diiringi oleh beberapa pemain musik gamelan, alat musik pukul menyerupai gentong, rebana, gendang, gong, dan kecrek. Sebelum pertunjukan dimulai, seorang sinden menyanyikan sebuah tembang yang dimaksudkan untuk memanggil para penonton agar segera berkumpul. Sinden biasanya menembang sebanyak dua tembang: pertama dimaksudkan untuk mengundang penonton, dan berikutnya bertujuan memanggil seorang pemain sintren keluar. Syair tembang yang pertama berbunyi sebagai berikut: Tambak tambak pawon/Isine dandang kukusan/Ari kebul-kebul/wong nontone pada kumpul. Sedangkan syair tembang yang kedua berbunyi: Kembang trate/Dituku disebrang kana/Kartini dirante/Kang ngrante aran mang rana. Unsur magis dalam pertunjukan sintren terlihat dengan adanya juru sintren yang bertugas memanggil bidadari. Bidadari ini kemudian merasuk ke dalam raga pesintren. Pemain sintren diharuskan perempuan yang masih gadis belia antara usia 14-16 tahun, dan masih perawan. Syarat ini tak boleh dilanggar. Alasannya, jika seorang sintren tidak lagi perawan, bidadari yang dipanggil dari kahyangan tidak akan turun ke dalam arena pertunjukan. Rohnya tidak akan sudi merasuk ke diri seorang sintren. Pertunjukan sintren layaknya permainan sulap, diiringi tetabuhan khas daerah pesisir, sintren diikat dengan seutas tali, dari leher hingga kaki. Secara akal sehat, sang penari tak bisa lagi bergerak, apalagi melepaskan tali itu dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian sintren dibaringkan di atas tikar dan dibungkus dengan tikar tersebut. Selanjutnya sintren dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Dalam prosesi ini, pawang sintren membawa pedupaan, tempat kemenyan dibakar, serta membaca doa. Suasana mistis mendadak muncul. Itulah saat bidadari sudah turun dari kahyangan, berada di sisi penari sintren dan merasuk. Sinden berulang-ulang menembang, sebagai berikut: “Gulung-gulung kasa/Ana sintren masih turu/Wong nontone buru-buru/Ana sintren masih baru.” Tanpa bantuan orang lain, secara logika, tak mungkin sintren bisa meloloskan diri dari ikatan tali dan berganti pakaian begitu cepat. Tapi, ketika kurungan dibuka sintren telah berganti pakaian, dan tali pun sudah lepas - ajaib memang. Kemudian sintren menari dengan monoton, lucunya sintren menari menggunakan kacamata hitam. Para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kembali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang. Fenomena ajaib ini sampai sekarang belum bisa dijelaskan secara ilmiah. Di kalangan masyarakat, gadis-gadis berlomba untuk menjadi sintren. Menurut kepercayaan umum, gadis-gadis yang menjadi seintren akan cepat mendapatkan jodoh. Bermain sintren tak selamanya memerlukan panggung. Mereka dapat juga bermain di halaman rumah, meski beralas tikar.
Perkembangannya pun sudah mulai hilang seiring berjalannya waktu. Tari ini sudah sangat jarang ditampilkan bahkan di daerah aslinya. Tari ini merupakan tarian yang langka dan jarang ditemukan. Oleh karena itu kita sebagai anak penerus bangsa harus menjaganya dan melestarikan tarian yang ada di Indonesia karena tarian merupakan salah satu warisan budaya Negara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar