1. Ajaran tentang Alam Semesta Tarian Sintren memiliki konsep ajaran alam semesta. Ajaran tersebut disimbolkan melalui perlengkapan pementasan dan sesaji. Dalam perlengkapan, ditunjukkan pada penggunaan bambu sebagai bahan utama pembuatan kurungan serta makanan yang disajikan untuk penonton berupa hasil bumi seperti singkong rebus, ketela rebus, kacangkacangan dan lain-lain. Sedangkan dalam sesaji ditunjukkan pada tumpeng, kopi pahit, air putih, rokok, kemenyan, dan kembang setaman. Semua simbol-simbol tersebut dikumpulkan dengan tujuan agar bisa mensucikan asma (nama) Tuhan dari diri manusia. Setiap makanan pasti memiliki 4 unsur yaitu tanah, api, air dan angin. Bahan makanan berasal dari tanah, mendapatkan pengolahan dengan menggunakan api, air sebagai penyeimbang, dan angin untuk menetralisir. Melalui simbol-simbol tersebut ajaran yang ingin disampaikan adalah manusia harus menghargai apa yang diberikan oleh alam. Rasa menghargai alam ini terwujud dengan cara bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan atau menciptakan alamnya untuk manusia. Bahwasanya, setiap makhluk hidup tidak akan bisa bertahan tanpa adanya keempat unsur baik tanah, air, api maupun angin. (hasil wawancara dengan Gus Eko, pimpinan Lesbumi Pekalongan, 5 Mei 2019).
2. Ajaran tentang Manusia Ajaran tentang manusia yang ingin disampaikan dalam tari Sintren adalah ajaran penghapusan “Pancamakara” atau Mo-Limo , yang ada dalam aliran kepercayaan Tantrayana. Masih banyak perdebatan mengenai bagaimana konsep dari Tantrayana ini, bahkan beberapa menganggap aliran ini merupakan aliran “menyimpang” dan beberapa lebih nyaman menyebutnya sebagai anti-mainstream. Diketahui bahwasanya bumi Nusantara pada kisaran abad 8-14 M sangat dipengaruhi oleh budaya Hinduisme dan Budhisme, padahal apabila ditelaah lebih jauh kedua konsep fundamental ajaran ini sangat bertolak belakang. Budhisme merupakan bentuk protes dari implementasi sistem religi Hindu dalam hierarki sosial masyarakat Nusantara klasik dalam bentuk sistem kasta. NUSA, Vol. 14 No. 1 Februari 2019 Laura Andri R.M., Sintren dan Perkembangannya: Studi Kasus Tari Sintren Santri Sanggar Windu Ajibudaya Kaso Tengah Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah 110 Tantrayana sendiri muncul dan berkembang pada masa keemasan Majapahit, dimana terjadi sinkretisme antara Hindu-Buddha disebut dengan Siwa-Buddha Tatwa. Latar belakang munculnya fenomena tersebut adalah adanya kebijakan politik dari raja Hayam Wuruk yang menganut dua sistem religi ini. Selain itu ada faktor lain yang jauh lebih penting yakni korelasi spiritualitas Tantra. Konsep dasar dari Tantra, yakni lebih menekankan harmoni dan juga peribadahan melalui meditasi mantra serta mistisisme, dengan menempatkan manusia sebagai wadah suci untuk mencapai pencerahan. Manusia adalah cerminan mikrokosmik kekuatan alam semesta, dengan mengedepankan segala bentuk praktik yang memaksimalkan tubuh dan bersifat duniawi untuk mencapai pembebasan atau moksa (Dewi,2013:1-2). Ajaran Tantra lebih berfokus pada pemujaan terhadap Shakti (aspek feminim dari dewa, terutama dewa Siwa). Praktiknya menekankan pada keutuhan yang dicapai dalam aspek feminim dan maskulin dalam simbol Shiva dan Shakti. Salah satu contoh teknik dari Tantra adalah Panca Makara, atau disiplin meditasi dan konsumsi seperti; madira (anggur), matsya (ikan), mamsa (daging), mudra (gerakan tangan) , dan maithuna (hubungan seksual). Diantara kelima makara tersebut,disiplin dalam hubungan seksual dianggap penting dan kompleks, karena terdapat transformasi paradigma dari relasi seksual yang dianggap rendah/profan menjadi relasi suci, dengan syarat mampu mengalihkan energi yang awalnya berlandaskan nafsu dan cenderung negatif, menjadi rasa cinta kosmis yang menyebar dan meliputi seluruh alam semesta (Dewi, 2013 : 3). Disinilah peran daripada tari Sintren, yakni menghapuskan ajaran yang dianggap melenceng jauh dari konsep ajaran setelah Hindu-Buddha, yakni Islam, yang semula berpusat di Jawa Timur kini telah sampai ke Doro, karena sebagian masyarakat sudah tidak lagi bisa menerima praktik Panca Makara, maka muncullah tari Sintren. Ditinjau dari makna atau arti, kata “Sin” berarti bentuk, dan “Tren” yang berarti benda, sehingga Sintren dapat ditafsirkan sebagai tindakan meninggalkan atau menghentikan segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Tari Sintren apabila dirunut dari cerita lisan yang tersebar secara turun temurun, pertama kali muncul akibat Sulandono dan Sulasih yang hubungannya tidak direstui ayah dari Sulandono yaitu Jaka Bahu atau Bahurekso, yang merupakan anak dari Ki Ageng Cempaluk tangan kanan dari Raja Mataram Islam. Sehingga muncul bentuk penanaman paham baru dengan memadukan atau menyisipkan kebudayaan lokal dengan NUSA, Vol. 14 No. 1 Februari 2019 Laura Andri R.M., Sintren dan Perkembangannya: Studi Kasus Tari Sintren Santri Sanggar Windu Ajibudaya Kaso Tengah Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah 111 dasar ajaran Islam guna menggantikan kebudayaan sebelumnya tanpa adanya konflik, semacam mendapatkan kekuasaan secara de facto tanpa adanya represi.
3. Ajaran tentang Budi Luhur Berikut adalah beberapa makna ajaran yang berkaitan dengan sikap budi luhur; a. Seorang perempuan harus bisa menjaga kehormatan dan kesuciannya. Ia juga tidak boleh mencintai lawan jenis secara berlebihan serta tidak sembarangan menyerahkan dirinya kepada lelaki. Perempuan harus bisa menjunjung tinggi nama baik dan kehormatan keluarganya, jujur dalam segala perbuatan yang dilakukan dan perkataan yang diucapkan. b. Ajaran luhur mengenai bela tanah air, didalam tari Sintren terdapat properti berupa “kacamata” hitam, yang diibaratkan sebagai orang yang buta . Sintren yang terbelenggu menggambarkan bangsa Indonesia yang waktu itu terbelenggu oleh penjajah. Setelah menyaksikan pementasan tari Sintren diharapkan penonton memiliki semangat juang untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Selain itu ikatan tali yang mengikat tangan pesintren sesaat sebelum dimasukkan dalam kurungan kemudian keluar dengan ikatan yang sudah terlepas memberikan gambaran filosofis bahwa setiap belenggu yang mengikat kebebasan gerak manusia mesti dilenyapkan dari bumi yang merdeka agar tidak ada lagi bentuk penjajahan di muka bumi. c. Puasa mutih yang dilakukan pesintren memiliki makna ajaran yang berupa tugas dan kewajiban manusia terhadap Tuhannya. d. Sesaji berupa kembang setaman dan makanan yang disajikan untuk penonton yang berasal dari hasil bumi memiliki makna ajaran berupa kewajiban manusia kepada alam. Makna Spiritual yang Terkandung dalam Tari Sintren 1. Doa dan Mantra Tari Sintren yang dilestarikan oleh Sanggar Windu Ajibudaya Kaso Tengah sebenarnya memiliki doa dan mantra khusus yang dibacakan oleh pawang saat pertunjukan dilangsungkan. Namun Muhammad Luqman Nugroho (ketua sanggar sekaligus pawang) tidak bisa membeberkan doa dan mantra kepada orang lain yang tidak berkepentingan. Tentu saja karena mantra dan doa merupakan sesuatu yang sakral dan hanya boleh NUSA, Vol. 14 No. 1 Februari 2019 Laura Andri R.M., Sintren dan Perkembangannya: Studi Kasus Tari Sintren Santri Sanggar Windu Ajibudaya Kaso Tengah Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah 112 diketahui oleh guru spiritual dan pawangnya saja. Pawang hanya memberikan informasi bahwa untuk dapat kerasukan seorang pesintren harus tetap fokus kepada ketukan gendhing yang mengiringi. Lagu Turun Sintren adalah salah satu sarana yang bisa disebut dengan mantra untuk memanggil bidadari yang nantinya akan merasuki tubuh pesintren.
2. Ajaran tentang Manusia Ajaran tentang manusia yang ingin disampaikan dalam tari Sintren adalah ajaran penghapusan “Pancamakara” atau Mo-Limo , yang ada dalam aliran kepercayaan Tantrayana. Masih banyak perdebatan mengenai bagaimana konsep dari Tantrayana ini, bahkan beberapa menganggap aliran ini merupakan aliran “menyimpang” dan beberapa lebih nyaman menyebutnya sebagai anti-mainstream. Diketahui bahwasanya bumi Nusantara pada kisaran abad 8-14 M sangat dipengaruhi oleh budaya Hinduisme dan Budhisme, padahal apabila ditelaah lebih jauh kedua konsep fundamental ajaran ini sangat bertolak belakang. Budhisme merupakan bentuk protes dari implementasi sistem religi Hindu dalam hierarki sosial masyarakat Nusantara klasik dalam bentuk sistem kasta. NUSA, Vol. 14 No. 1 Februari 2019 Laura Andri R.M., Sintren dan Perkembangannya: Studi Kasus Tari Sintren Santri Sanggar Windu Ajibudaya Kaso Tengah Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah 110 Tantrayana sendiri muncul dan berkembang pada masa keemasan Majapahit, dimana terjadi sinkretisme antara Hindu-Buddha disebut dengan Siwa-Buddha Tatwa. Latar belakang munculnya fenomena tersebut adalah adanya kebijakan politik dari raja Hayam Wuruk yang menganut dua sistem religi ini. Selain itu ada faktor lain yang jauh lebih penting yakni korelasi spiritualitas Tantra. Konsep dasar dari Tantra, yakni lebih menekankan harmoni dan juga peribadahan melalui meditasi mantra serta mistisisme, dengan menempatkan manusia sebagai wadah suci untuk mencapai pencerahan. Manusia adalah cerminan mikrokosmik kekuatan alam semesta, dengan mengedepankan segala bentuk praktik yang memaksimalkan tubuh dan bersifat duniawi untuk mencapai pembebasan atau moksa (Dewi,2013:1-2). Ajaran Tantra lebih berfokus pada pemujaan terhadap Shakti (aspek feminim dari dewa, terutama dewa Siwa). Praktiknya menekankan pada keutuhan yang dicapai dalam aspek feminim dan maskulin dalam simbol Shiva dan Shakti. Salah satu contoh teknik dari Tantra adalah Panca Makara, atau disiplin meditasi dan konsumsi seperti; madira (anggur), matsya (ikan), mamsa (daging), mudra (gerakan tangan) , dan maithuna (hubungan seksual). Diantara kelima makara tersebut,disiplin dalam hubungan seksual dianggap penting dan kompleks, karena terdapat transformasi paradigma dari relasi seksual yang dianggap rendah/profan menjadi relasi suci, dengan syarat mampu mengalihkan energi yang awalnya berlandaskan nafsu dan cenderung negatif, menjadi rasa cinta kosmis yang menyebar dan meliputi seluruh alam semesta (Dewi, 2013 : 3). Disinilah peran daripada tari Sintren, yakni menghapuskan ajaran yang dianggap melenceng jauh dari konsep ajaran setelah Hindu-Buddha, yakni Islam, yang semula berpusat di Jawa Timur kini telah sampai ke Doro, karena sebagian masyarakat sudah tidak lagi bisa menerima praktik Panca Makara, maka muncullah tari Sintren. Ditinjau dari makna atau arti, kata “Sin” berarti bentuk, dan “Tren” yang berarti benda, sehingga Sintren dapat ditafsirkan sebagai tindakan meninggalkan atau menghentikan segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Tari Sintren apabila dirunut dari cerita lisan yang tersebar secara turun temurun, pertama kali muncul akibat Sulandono dan Sulasih yang hubungannya tidak direstui ayah dari Sulandono yaitu Jaka Bahu atau Bahurekso, yang merupakan anak dari Ki Ageng Cempaluk tangan kanan dari Raja Mataram Islam. Sehingga muncul bentuk penanaman paham baru dengan memadukan atau menyisipkan kebudayaan lokal dengan NUSA, Vol. 14 No. 1 Februari 2019 Laura Andri R.M., Sintren dan Perkembangannya: Studi Kasus Tari Sintren Santri Sanggar Windu Ajibudaya Kaso Tengah Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah 111 dasar ajaran Islam guna menggantikan kebudayaan sebelumnya tanpa adanya konflik, semacam mendapatkan kekuasaan secara de facto tanpa adanya represi.
3. Ajaran tentang Budi Luhur Berikut adalah beberapa makna ajaran yang berkaitan dengan sikap budi luhur; a. Seorang perempuan harus bisa menjaga kehormatan dan kesuciannya. Ia juga tidak boleh mencintai lawan jenis secara berlebihan serta tidak sembarangan menyerahkan dirinya kepada lelaki. Perempuan harus bisa menjunjung tinggi nama baik dan kehormatan keluarganya, jujur dalam segala perbuatan yang dilakukan dan perkataan yang diucapkan. b. Ajaran luhur mengenai bela tanah air, didalam tari Sintren terdapat properti berupa “kacamata” hitam, yang diibaratkan sebagai orang yang buta . Sintren yang terbelenggu menggambarkan bangsa Indonesia yang waktu itu terbelenggu oleh penjajah. Setelah menyaksikan pementasan tari Sintren diharapkan penonton memiliki semangat juang untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Selain itu ikatan tali yang mengikat tangan pesintren sesaat sebelum dimasukkan dalam kurungan kemudian keluar dengan ikatan yang sudah terlepas memberikan gambaran filosofis bahwa setiap belenggu yang mengikat kebebasan gerak manusia mesti dilenyapkan dari bumi yang merdeka agar tidak ada lagi bentuk penjajahan di muka bumi. c. Puasa mutih yang dilakukan pesintren memiliki makna ajaran yang berupa tugas dan kewajiban manusia terhadap Tuhannya. d. Sesaji berupa kembang setaman dan makanan yang disajikan untuk penonton yang berasal dari hasil bumi memiliki makna ajaran berupa kewajiban manusia kepada alam. Makna Spiritual yang Terkandung dalam Tari Sintren 1. Doa dan Mantra Tari Sintren yang dilestarikan oleh Sanggar Windu Ajibudaya Kaso Tengah sebenarnya memiliki doa dan mantra khusus yang dibacakan oleh pawang saat pertunjukan dilangsungkan. Namun Muhammad Luqman Nugroho (ketua sanggar sekaligus pawang) tidak bisa membeberkan doa dan mantra kepada orang lain yang tidak berkepentingan. Tentu saja karena mantra dan doa merupakan sesuatu yang sakral dan hanya boleh NUSA, Vol. 14 No. 1 Februari 2019 Laura Andri R.M., Sintren dan Perkembangannya: Studi Kasus Tari Sintren Santri Sanggar Windu Ajibudaya Kaso Tengah Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah 112 diketahui oleh guru spiritual dan pawangnya saja. Pawang hanya memberikan informasi bahwa untuk dapat kerasukan seorang pesintren harus tetap fokus kepada ketukan gendhing yang mengiringi. Lagu Turun Sintren adalah salah satu sarana yang bisa disebut dengan mantra untuk memanggil bidadari yang nantinya akan merasuki tubuh pesintren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar