Senin, 20 Januari 2020

KESENIAN SINTREN

Hasil gambar untuk kesenian sintren

KESENIAN SINTREN

Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren merupakan gabungan dua suku kata ‘Si” dan “Tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren” berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri”. Sehingga Sintren adalah “Si Putri” yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional Sintren.

Sintren adalah kesenian tari tradisional masyarakat Jawa Tengah di wilayah pantai utara, khusus nya di Pemalang. Kesenian ini terkenal di pesesir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, antara lain pemalang, pekalongan, brebes, banyumas, kuningan, cirebon, indramayu, dan jatibarang. Kesenian sintren di kenal sebagai tarian dengan aroma mistis atau magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.


LEGENDA SINTREN

Kesenian sintren diawali dari cerita rakyat atau legenda yang di percaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi. Pertama, berdasarkan pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Buherekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih ran R. Sulandono tidak di restui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono di perintahkan ibunda nya untuk bertapaa dan di berikan selembar kain (saptu tangan) sebagai sarana kelak unruk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapa nya selesai. Sedangkan Sulasih di perintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.

Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah sulasih menari sebagai bagian pertunjukan dan R. Sulandono turun dari pertapaan nyasecara sembunyi sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibu nya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu juga R. Sulandono melemparkan sapu tangan nya sehingga sulasih pingsan. Saat itu sulasih “trance atau kemasukan roh halus atau kesurupan” ini yang disebut “Sintren” dan pada saat R sulandono melempar sapu tangan nya di sebut sebagai “balangan” . dengan ilmu yang di miliki R. Sulandono maka sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita cita nya untuk bersatu dalam mahligai rumah tangga.

Yang kedua, sintren di latar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak di setujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta kedua nya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.

Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedih nya mendengar orang yang di cintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka rantamsari berusaha melacak jejak gugur nya Bahurekso. Melalui perjalanan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari Sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenar nya masih hidup.

Karena kebabalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukan nya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali lagi ke mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaan nya untuk menambah kesaktian dan kekuatan nya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayat nya.

BENTUK PENYAJIAN SINTREN

Sebelum pertunjukan, biasa nya di awali dengan tabuhan gamelan sebagai tanda akan di mulai nya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan massa atau penonton. Penonton biasa nya datang bergelombang dan menempatkan diri dengan mengelilingi arena, disambut dengan koor lagu lagu dolanan anak anak Jawa, seperti lir-ilir, cublek cublek suweng, padang rembulan dan sebagai nya.

Setelah itu dilakukan pembakaran “dupa”, yaitu acara berdoa bersama sama di iringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya. Bahkan sebelumnya perlu dilakukan acara ritual selama 40 hari terhadap penari sintren untuk mencapai kesempurnaan penampilan nya.

Berikut nya adalah tahapan menjadikan sintren yang akan dilakukan oleh pawang dengan membawa calon penari sintren bersama dengan empat orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantrik nya sintren. Kemudian sintren di dudukan oleh pawang dalam keadaan berpakaian biasa dan di dampingi para dayang atau cantrik. Pawang segera menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Tahap pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren kemudian diletakan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya mengikat calon penari sintren dengan tali melilit ke selulurh tubuh. Tahap kedua, calon penari sintren di masukan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan di buka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren di tutup kurungan kembali. Tahap ketiga, setelah ada tanda tanda sintren sudah jadi (biasa nya ditandai kurungan bergetar atau bergoyang) kurungan di buka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakala nya sintren melakukan akrobatik diantara nya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren berlangsung, pembakaran menyan tidak boleh berhenti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar